Kurang profesionalnya pengelolaan ketenagakerjaan di dalam negeri

Adanya audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tanggal 6 Mei lalu yang menyatakan kegiatan pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam penempatan dan perlindungan TKI sangat buruk atau bermasalah dengan ditemukannya banyak bukti, bukti ini terlihat pada permasalahan dibawah ini:

- muncul bukti baru lagi yang terlihat kurang profesionalnya pengelolaan ketenagakerjaan di negara ini. Bukti baru tersebut berupa tidak terkirimnya surat dari Kemlu ke keluarga Wanipah, BMI yang divonis mati di Tiongkok karena diduga mengedarkan narkoba. Padahal isi surat itu sangat penting bagi keluarga Wanipah karena berisi pemberitahuan perubahan hukuman dari vonis mati ke seumur hidup sesuai  surat Nomor 21879/WNI/10/2013/65 yangdikeluarkan pada 26 September 2013 oleh Pengadilan Tinggi Provinsi Zhejiang oleh hakim bernama Ren Gengfeng.

Tidak terkirimnyanya surat ini dikarenakan karena salah alamat, bukan ke Indramayu alamat keluarga Wanipah tapi ke Pondok Benda, Banten," ucap kuasa hukum Iskandar Zulkarnaen saat dihubungi Liputan6.com, Kamis 21 Mei 2015 lalu. Jelas ini sebetulnya bisa menjadi perhatian pemerintah karena apabila database atau biodata BMI aja banyak yang tidak valid bagaimana bisa bertindak lebih lanjut untuk melindungi bahkan memberdayakan para pahlawan Devisa ini.

- tumpang tindihnya aturan-aturan mengenai penempatan dan perlindungan BMI yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam proses penempatan dan perlindungan BMI. Ia menjelaskan, aturan mengenai BMI bukan hanya diselenggarakan pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah (pemda). Jika pemerintah pusat menggunakan payung hukum UU 39/2004, ternyata pemda pun ikut bertanggung jawab terhadap BMI dan sudah diatur di UU 32. “Kedua UU itu belum sinkron terutama antara tanggung jawab dan kewenangan pemda dan pemerintah pusat. Sehingga, seringkali di lapangan terjadi tumpang tindih antara dinas ketenagakerjaan dan instansi vertikal,” ujarnya. Ketidakharmonisan wewenang juga terjadi pada BNP2TKI dan Kemenaker. Dualisme antara dua lembaga terjadi misalnya aturan Kemenaker yang menetapkan pendaftaran TKI harus melalui bursa tenaga kerja di Dinas Ketenagakerjaan daerah. Disisi lain, BNP2TKI menyatakan TKI bisa direkrut petugas dengan pola sponsorship.  Dua skema yang berjalan inilah yang dikatakan Yudi telah menyulitkan proses penempatan TKI dan memunculkan calo-calo di daerah. “Masalah terbesar yang dialami TKI yaitu 80 persen terjadi saat pra penempatan,” katanya. Ia juga menyayangkan sistem informasi yang tidak terintegrasi antara BNP2TKI dan Kemenaker yang membuat kebijakan pembinaan dan pengawasan menjadi tidak sinkron. 

- Adanya dualisme ketenagakerjaan di Indonesia terjadi antara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dengan Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Ditjen Binapenta) Kemenakertrans RI. Dualisme peran pelaksanaan ini bahkan sudah berujung pada bentuk ‘perseteruan’ dan tarik menarik kepentingan antar dua lembaga. Hal ini misalnya nampak dari persoalan kisruh pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dan penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTLN). Selain itu tampak pada persoalan tarik menarik kewenangan pelayanan dan penanganan urusan BMI. Masih segar dalam ingatan kita pada akhir agustus tahun lalu dimana Dirjen Binapenta mengeluarkan surat edaran mengenai tidak dipersyaratkan lagi memperpanjang Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) bagi mereka yang melakukan perpanjangan perjanjian kerja berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi no 4 tahun 2013. Sedangkan BNP2TKI tetap mempersyaratkan untuk perpanjangan KTKLN sebagai syarat BMI untuk bisa berangkat keluar negeri. Hal ini jelas membuat kebingungan BMI yang hendak berangkat kembali bekerja diluar negeri. Bahkan karena dualisme ini, ada seorang BMI asal kendal yang tidak mau disebutkan namanya ini terpaksa membuat KTKLN ini di bandara dengan dikenai tarif 1 juta. Ini jelas merugikan para BMI akibat ketidakjelasan peraturan ini.

semoga kedepannya ada perbaikan sehingga amanat UU No 39 bisa dijalankan oleh Pemerintah bisa melindungi warganya yang bekerja diluar negeri secara maksimal mengingat hingga saat ini pemerintah belum bisamenciptakan lapangan kerja yang layak buat warganya.